Wednesday, October 12, 2011

Peminta-minta

Wednesday, 12th of October 2011

Kemaren sempet baca di kompas forum, tulisan seseorang tentang motif baru peminta-minta. Sejauh yang aku ingat, aku ga pernah suka ama peminta-minta. Dimulai dari sejak tinggal di Bukittinggi, sepertinya waktu itu masih SD deh, liat pengemis yang sering aku liat dalam perjalanan pulang, tapi saat dia menikahkan anaknya, pestanya meriah. Waktu itu belum nge-trend tuh yang namanya organ tunggal di Bukittinggi karna masih dianggap mahal. Tapi si pengemis itu mampu untuk mengadakan itu. Hmm.....bahkan mereka lebih makmur dari keluarga kami. Menghasilkan lebih dari mama dan papa yang banting tulang setiap hari. Jadi sejak itu, jadi males banget deh untuk mau memberi kepada seorang pengemis. Dan ke sini-sini, ga jarang juga baca pengalaman hidup seorang pengemis yang punya 'usaha' di Jakarta, tapi di kampungnya punya rumah beberapa. Trus pernah juga baca tentang suatu daerah di Depok yang dikenal dengan nama Kampung Pengemis karna hampir semua orang di kampung itu berprofesi jadi pengemis. Kalau ga salah nama asli daerah itu adalah Kampung Lio. Mereka bahkan menolak menjadi pembantu rumah tangga karna menurut mereka penghasilannya yang ga seberapa.

Dan beberapa hari yang lalu, aku blogwalking dan mampir ke blognya kakak. Dan baca salah satu postnya yang judulnya Peyek and Blessing. Naahh...jenis seperti ini yang aku suka. Orang yang dengan segala keterbatasannya mau berusaha untuk bisa menghidupi dirinya sendiri dan mungkin juga keluarganya. I bet, it must be hard. Must be difficult. Orang dengan keterbatasan pastilah bakal lebih gampang untuk memilih profesi jadi pengemis. Kalau orang tua gitu, pasti bakal mengundang rasa kasihan yang lebih dari orang-orang kan?

Jadi ingat pengalaman-pengalaman sendiri. Aku adalah tipe orang yang cukup detail, suka memperhatikan keadaan sekeliling, bahkan hal-hal yang ga penting. Terutama sejak tinggal dan kerja di Jakarta, jadi makin banyak memperhatikan keadaan sekeliling. Apalagi most of the time, aku menggunakan angkutan umum, jadi lebih banyak kesempatan untuk memperhatikan.

Yang namanya peminta-minta di Jakarta itu, banyaaaaakkkkkk banget. Walaupun banyak, tapi aku ga bisa inget, kapan aku pernah memberi kepada salah satu dari mereka. Ya..karna ingat pengalaman di Bukittinggi itu tadi, jadi mengharamkan diri sendiri untuk memberi kepada seorang peminta-minta. Tapi yang sering aku lakukan adalah memberi lebih kalau aku membeli sesuatu. Misalnya, aku ga pernah beli tissue di supermarket. Nah...di bis biasanya tissue itu dijual dengan harga 1500. Aku menghargai si penjual. Aku tau kalau keuntungannya pasti ga banyak. Cuma tissue, paling berapa si untungnya? Jadi aku biasanya memberi 2000, tapi tidak meminta kembalian. Melihat wajah shock di penjual dan memberi ucapan terima kasih dengan pandangan mata yang berbeda, it is such a blessing for me. And it's only 500 rupiah!! Bahkan jajannya Effan sehari bisa lebih banyak dari itu.

Dan hal seperti ini sering juga kita lakukan kalo beli sesuatu di lampu merah. Ngotot nawar, tapi pas bayar ga minta kembalian. Nawar tetep penting donk...tapi memberi adalah sesuatu yang lain :)
Aku inget, suatu ketika Leo manggil tukang sol sepatu. Aku juga inget dia ngotot minta harganya dimurahin yang akhirnya dikabulkan si tukang sol. Selama mengerjakan sepatunya, mereka sempat ngobrol. Entah karna cerita si tukang sol yang menyentuh, tapi akhirnya Leo ngasi bayaran seperti harga awal yang diberi si tukang sol. Si tukang sol pasti heran tuh, ama orang aneh yang cape-cape nawar, tapi akhirnya malah begitu :D

Oya, aku juga ingat, waktu itu pernah ada pemulung yang lewat di depan rumah. Si pemulung ini membawa gerobak dan di dalamnya ada 2 orang anaknya yang sepertinya masih balita. Aku menghargai orang tuanya yang masih mau berusaha untuk menghidupi anaknya. Ga kaya yang sering terjadi di Jakarta, bahkan anak pun diberdayakan untuk jadi peminta-minta. Nah.. saat kejadian itu, sebelumnya kami liat mereka di ujung jalan Condet dalam perjalanan pulang. Dan begitu sampai di rumah, aku ambil beberapa makanan cemilan Effan, kalo ga salah biskuat gitu deh, dan begitu mereka lewat depan rumah, kita hentikan dan beri makanan itu. Hmm....see the smile of the kids is such a wonderful thing. Di rumah kadang Effan bahkan menyia-nyiakan makanannya karna dia bisa dengan gampangnya mendapatkannya, tapi anak-anak ini sepertinya melihat cemilan sebagai barang mewah. Hmm...

Setelah setahun berada di Belanda, aku merasa ini adalah sesuatu yang hilang dari hidupku. Rata-rata masyarakat di sini punya tingkat kesejahteraan yang sama. Jadi bakal amat sangat jarang sekali deh ketemu ama orang-orang yang benar-benar harus berjuang demi sesuap nasi. Padahal buat aku, ini adalah salah satu caraku untuk menghargai dan mensyukuri hidupku. Walaupun dibandingkan dengan teman-teman lain yang pendidikannya sama ama aku, penghasilanku tidak terlalu besar, tapi dengan melihat keadaan sekelilingku seperti ini, bikin aku makin bersyukur ama transferan setiap tanggal 25 ke rekeningku itu (yaa...yang sementara ini terhenti selama 1.5 tahun). Jadi kesimpulannya, aku senang bisa hidup di Indonesia karna salah satu aspek kehidupan yang satu ini.

Oya, ada postingan lain dari kakak yang cerita pengalamannya waktu 'road show' (istilah infotainment ni). Pengen juga deh sesekali melakukan ini, cuma biar bisa lebih berbagi...

Okay...mari ditutup saja posting ga penting malam ini. Semoga kita semua lebih bisa berbagi ke sesama. Percaya deh, itu bisa membuat kita makin menghargai dan mensyukuri hidup kita sendiri. Daripada ngedumel-dumel menyesali hidup kan ya? :)